ILMU BUDAYA DASAR
ESTETIKA SEBAGAI MANIFESTASI BUDAYA
Pengantar
Persoalan estetika atau keindahan
kehidupan manusia pada dasarnya adalah suatu yang inheren. Setiapmanusia,secara
naluri selalu mencari apa yang dinamakan estetis. Hanya saja, bagai setiap
manusia pengalaman estetis tidaklah sama. Bahkan menghadapi objek yang sama
pun, penilaian dan pengalaman estesis yang di peroleh berbeda. Semuanya akan
bergantung pada kepekaan, keterlibatan emosional, dan situasi yang
menyertainya. Meskipun demikian, dalam bentuk dan kondisi yang paling sederhana
sekalipun, pada hakikatnya nuansa etestik pasti pernah diperoleh oleh setiap
manusia. Dalah hal ini setiap manusian pernah apa yang disebut sebagai
keindahan. Karena itu, tidak mengherankan jika manusia sidebut pula dengan homo aetheticus.
Keindahan yang diperoleh maunsia
memang sangat beragam. Keindahan bias diperoleh melalui melalui objek alam,
objek artifisial, makhluk hidup, bahkan pada objek-objek yang dipandan
gabstrak. Dilihat dari dimensi ini dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya
keindahan adalah sejalan dengan kehidupan manusia itu sendiri. Akhirnya, disadari
atau tidak persoalan estetika dapatlah di pandang sebagai dari tujuan hudup
manusia.
Dilihat secara historis juga
menunjukan bahwa manusia sebagai homo aestheticus juga tidak terbantahkan,
meskipun teori tentang esterika sendiri belum dikenal. Hal ini bias dilihat dari diketemukannya
gambar-gambar dan goresan dalam gua-gua peninggalan zaman laleolithic yaitu sekurang-kurangnya pada tahun 20.000 SM.sebagai
ilustrasi kaum gravettia (25.000-20.000 SM) diketahui telah membuat patung-patung dari tanah liat
yang kemudian di bakar. Pembuatan patung-patung terssebut pada dasarnya adalah
dorongan dari seseorang untuk mengekspresikan perasaan, jiwa, kemampuan
(skill), pengalaman, batin, dan harmoni esterika.
Sejarah dengan perkembangan jaman,
ekspresi keindahan memang telah mengakami banyak corak metode,dan bentuk.
Ekstetika tidak semata-mata berupa berupa omposisi alam, tetapi bias merupakan
sebagai corak bentuk asrtifisial baik yang berhubungan dengan imitasi alam atau
hasil dari sebuah imajinasi dan kreativitas tinggi. Esterika tidak hanya
didominasi oleh ilmu-ilmu seni, tetapi boleh disebut telah masuk dalam wacana
keilmuan secara keseluruhan, apakan teknologi, sisoal budaya, dan agama.
Sebagai ilustrasi, boleh disebutkan bahwa setiap produk yang
dihasilkan masusia modern tidak pernah lepas dari konsep estetika.
Produk-produk seperti elektonik, manufacture, mobil, motor, furniture, dan
property tidak hanya ditonjolkan pada persoalan fungsi dasarnya, yang tak kalah
pentingnya adalah sejauh mana estetika bentuk bias diciptakan seiring dengan
kemajuan teknologinya. Kenyataannya, bentuk estetik inilah salah satu motivasi
terkuat seseorang untuk memiliki objek yang ditawarkan. Dalam hal ini dapat
disebutkan bahwa nilai-nilai estetika adalah nilai yang mampu memberikan
keterikatan emosional atau merupakan jiwa dari sebuah objek. Dengan kata lain,
semakin maju sebuah teknologi atau budaya, semakin tinggi pula tuntutan akan
nilai-nilai estetikanya. Ralitas seperti inilah yang harus dipahami seseorang.
Pengertian Estetika
Meskipun estetika secara naluri ada
pada dir setiap manusia, secara teoritis pemunculan estetika berawal dari
filsafat Yunani pra-Socrates atau pada masa Thalws. Pada masa itu teori
estetikayang dimunculkan hanyabersifat incidental dan belum mendapat satu
otonomi sebagai sebuah budang ilmu pengetahuan. Estetika hanya dipandang sebagi
sebuah filsafat kehidupan. Perjalanan teori estetika sendiri sebenarnya cukup
panjang. Namun demikian, pengungkapan estetik sebagai sebuah bahasan ilmuan
pengetahuan mulai diungkapkan oleh Plato. Itupun keberadaan nya masih dilihat
dari konteks filsafat. Dalam halini Pluto mengungkapkan bahwa persoalan
estetika yang dikaitkan dengan aktivasi manusia pada dasarnya tidaklah dapat
disebut sebagai sebuah krativitas seni karena apa yang dilakukan manusia adalah
dalah membuat imitasi suatu objek. Dalam hal ini, plato menyrbut bahwa hasil karya manusia dikaitkan dengan
persoalan estetika sangat bergantung ada objek, bukan subjek. Manusia tidak
memunculkan suatu krativitas estetikanya, melainkan hanya mencontoh (mimesis).
Bagi Plato, estertika sesungguhnya hanya ada pada Tuhan karna hanya Tuhanlah
yang merupakan sumber keindahan. Tuhan adalah zat yang maha sempurna dan
keindahan hanya ada dalam kesempurnaan.
Pandangan Plato ini pada masa
tertentu memang banyak diikuti oleh filosof yang lain. Homerus, misalnya,
menjalin kekuatan ilahi untuk menghindarkan refleksi estetik. Itulah Muse, suatu cinta suci dan lembut
mentransfigurasikan manusia dalam alam menjadi bercahaya (lihat Hila Veranza,
1979: 371). Bagi Plato, jika sesuatu itu indah maka kendahan itu adalah suatu
yang absolut. Tidak terbantahkan, tidak bisa dianalisis, dan hanya bisa
dianikmati. Karena nilai tertinggi kendahan adalah ada pada tuhan, mka esensi
keindahan adalah Tuhan. Begitu juga halnya dengan Plotinus, ia mengungkapkan
bahwa nilai tertinggi sesuatu adalah kebersamaan dengan Tuhan. Tentu saja
apabila kita bersandar pada estimasi bahwa estetikamerupakan pengejawantahan
Tuhan, maka supaya pengembangan estetik akan terhenti karena semuanya akan
berpulang pada masalah axioma, masalah yang tak terbantahkan.
Namun
demikian, secara teoritis konsep yang ditawarkan Plato sebenarnya mengandung
beberapa konsep. Ada empat hal yang bisa ditarik dari filsafat estetika Plato:
a. Konsep estetika yang prinsipnya
diletakkan pada measure atau ukuran.
b. Konsep estetika yang diletakan pdad
mimetic, tujuan, dan kekurangannya.
c. Konsep ispirasi puitis ( poeitic
inspiration), dan
d. Konsep erotic madness (kegilaan
erotoik) yang berhubungan dengan visi keindahan.
Adanya kinsep seperti
itu, filosof yang lain melihat bahwa tidak mungkin persoalan kreativitas yang
berhubungan dengan nilai estetik hanya dikembalikan pada pengejawantahan Tuhan.
Menurut mereka peran manusia adalah teori imitasim pun akan sangat berperan.
Artinya, untuk menghasilkan nilai-nilai estetika peran dan kreativitas yang ada
dalam diri manusia juga sangat menentukan. Alam yang ditiru hanyalah sebagai
sebuah onjek global, sedangkan pencuatan nilai estetika pada sebuah karya
adalah sebuah kreativitas. Dari sini kemudian muncukl bahwa imitasi justru sering
lebih indah daripada aslinya.
Itilah sebabnya dari pihak lain yang di seponsori oleh
Aristoteles estetika dikembalikan pada dunia – Idea. Estetika tidak mungkin
semata-mata hanya pengejawantahan Tuhan. Karena bagai manapun nisbinya nilai
estetika, ternyata dapat di deskripsikan. “beauty
is a value, that it is not regarded as the quality of thing”. (Keindahan
adalah sebuah kesenagan yang di anggap sebagai kualitas benda). Walaupun
estetik dapat diletakan atas suatu benda, namun refleksi manusia dalam mendeskripsikannya
jhelas berbeda, karena masing-masing mempunyai asumsi yang berbeda pula.
Ghazali, seorang filosof timur terkemuka mengatakan, “ estetika terletak dalam
perwujudan suatu kesempurnaan yang dikaitkan dengan perfeksi dan
karakteristiknya” (Encyclopedia of the
world art, 1974: 5). Yang untuk mewujudkan nilai estetika harus menenuhi
patokan-patokan: integrity, proportional,
clearity, utuh, serasi dan gemilang (lihat
Hila Verenza, 1979: 379).
Namun demikian, refleksi perwujudan nilai estetik dalam suatu
karya jelas lebih jauh dari hanya sekedar keseharian, keuruhan, dan
kegemilangan. Estetika harus mampu memberikan rasa puas dan senang, karena
estetika tidak mungkin lepas dari rasa
dan emosi. Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Herbert Read, beauty is a unity of formal relations among
our perceptions ( Keindahan adalah suatu kesatuan hubungan formal atas
persepsi indera kita).(Herbert Read, 1971: 2). Disini factor “sense” jelas
dipakai pula sebagai ukuran atasnilai estetik yang ada dalam suatu karya.
Itulah sebabnya, agar tidak terjadi kesalah visi atas nilai estetik suatu
karya, Mukarovsky dan Vodicka, tkoh strukturalis Praha megembangkan estetika
dari sufut resepsi. The only realty of
its perceiver. (Satu-satunya realitas yang diacu oleh tanda estetik adalah
realitas persepsi penghayatan) (lihat Teeuw, 1984: 188). Dalam hal ini
kemampuan manusia untuk menikmati sebuah keindahan akan menentukan. Yang
menjadi ukuran utama, hubungan yang tetap dan langgeng, melainkan merupakan variable, berubah-ubah terus menerus.
Penikmat estetika merupan factor hakiki dan menentukan dalam penilaian estetika
karya sastra. Hal ini oleh Hans Ribert Jausz kemudian dikembangkan dalam
teorinya yang terkenal dengan sebutan
estetik resepsi. Dai sanalah kemudian timbul estetik tanggapan dan efek.
Konsekuensi dari pandangan tersebut, tanggapan nilai estetik
akhirnya ditentukan pula oleh cakrawala pandangan penikmat atau penilaian
asrtistik sebagian bergantung pada tegangan
antara hosrison harapan dengan ciri karya individual (Teeuw, 1984: 196).
Penikmat merupakan sentra pencerahan nilai estetik, karena kemampuan manusia
seperti dikatakan Petrarka adalah pusat segala sesuatu yang menandakan
kemampuan manusia yang kratif, rasional, dan esestik (To Tio Anh, 1984: 37).
Meskipun kriteria esetetik bersifat kreatif, namun unsur
pembentuknya pada hakikatnya dapat dikenali. Patokannya adalab sejauh mana
unsur-unsur tersebut mampu dirakit dan memancing minat manusia untuk terus
mengkajinya. Karena itu, dapat disebut bahwa kriterisa kulaitas objek dari
sudut pandang estetik apabila didalamnya terpenuhi:
1. Keutuhan, keharmonisan dantara
unsur-unsurnya
2. Tegangan dari bangunan konfliks yang
memunculkan variable yang terus berubah di kalangan penerima, dan.
3. Nilai kegunaan yang memunculkan nilai
kegemilangan.
Dalam teori
estetika, definisi keindahan akhirnya berkembang cukup variatif. Definisi
tersebut ada yang dikenal sebagai estetika barat dan estetika timur. Berbedanya
pandangan tersebut muncul karena dasar pijakan dalam merumuskan estetika berbeda-beda.
Namun secara umum, dapat disebukan bahwa nilai-nilai estetika akan hadir jika
suatu objek mempunyai berapa syarat, yaitu:
a. Esensi, maksudnya nilai keindahan itu
muncul karena secara esensial objek tersebut mempunyai kualitas keindahan yang
tinggi.
b. Relasi, maksudnya nilai keindahan
tidaklahberdiri sendiri melainkan dibentuk dari berbagi elemen yang mampu
mewujudkan satu keutuhan bentuk. Elemen-elemen tersebut memounyai suatu
hubungan inter-oranic yang satu sama
lain saling menompang dan membentuk satu nilai kendahan yang bersifat utuh.
c. Sebab-akibatnya, maksudnyha m=nilai
keindahan tidak lwpaas dari tanggapan emosi dan ekspresi jiwa.
d. Efek, maksudnya nilai estetik mampu
memberikan kesan yang mendalam
Dapat bisa disebutkan bahwa sesuatu yang disebut indah
apabila objek yang diamati, dirasakan, dipahami memenuhi semua kriteria
tersebut.
Pengalaman estetika
Pengalaman estetika bagi manusia
adalah sebuah keniscayaan. Keniscayaan yang di maksud karena estetika pada
dasarnya adalah sebuah nilai yang realif. Semuanya akan bergantung pada tingkat
pemahaman, rasa, dan ekspresi yanf dimiliki. Dalam hal terdapat dua hal yang
saling berhubungan yaitu antara objekdan subjek. Objek estetika sendiri tidak
selamanya berupa benda objek estetika bisa merupakan situasi dan suasana hati.
Hubungan antara objek dan subjek akan ditentukan oleh keduanya.
Dalam kehidupan sehari-hari,
hubungan seperti ini justru akan banyak dijumpai. Seseorang yang saling
mencintai, akan melahirkan suatu suasana estetik juka keduanya mampu
mengekspresikan jiwanya. Dari sini nuansa estetika akan sangat-sangat
ditentukan oleh lupaan emosi secara timbal balik. Dengan kata lain, orang yang
saling mencitai akan mempunyaikemampuan merasakan nuansa estetika jika keduanya
muncul pemahaman, keserasian, keterlibatan emosi, jiwa dan perasaannya secara
total. Pada situasi seperti ini sering kali ide atau kata hati tidak perlu
diungkapkan dengan kata-kata, tetapi akan terpancar melalui ekspresi juwa yang
terefleksilewat sentuman, lirikan, pandangan, sentuhan, dan lainnya. Inti dati
hubungan tersebut adalah melihat dan merasakan. Inilah realitas hubungan antara
objek dalam konteks estetika.
Namun pengalaman estetika yang
palimg banyak dijumpai dalam kehidupan manusia sering didasarkan pada melihat
dan merasakan. Dalam hal ini manusia akan mudah untuk menilai objek yang
dilihatnya. Secara instinktif dia akan mentranferobjek dalam satu pemahaman dan
memadukan antara mengerti dan mau. Dalam hal ini, dalam merespon suatu benda
akan muncul pikiran analitik sesuai dengan kriteria estetikyang dipunya objek
yang direspon seperti factor harmonisasi, keuthan, hubungan antara elemen
pembentuknya. Meskipun demikian, mengerti saja tidaklah cukup untuk menggiring
manusia pada suatu pengalaman estetik. Bahkan tidak tertutup kemungkinan
bahwapengalaman estetik bisa muncul tanppa harus dimengerti. Sebagai contoh,m
untuk menghayati atau merasakan suatu lagu dan music sesesorang tidak harus
dituntut megerti akan teori music. Dia akan merasakan keindahan suatiu music
jika ia mampu merasakan dengan sebuah jiwa akan harmonie semua ritme, komposisi
partitur, panduan nada-nada alat music yang digunakan, dan sebagainya. Denang
kata lain, untuk suatu pengakaman estetntik kadang-kadang tidak diperlukan
suatu teori. Yang terpenting, bahwa pengalaman estetik dalam kehidupan manusia
akan muncuk jika objek yang direspon
secara langsung mampu menyatu dan luluh dengan perasaan yang mendalam dan meninggalkan
kesan sertea keterikatan emosional. Kodisi seperti ni, memang akan berbeda-beda
setiap orang, baik tingkat nilai estetika yang direspon maupun kelebihan akan
kesan yang diperoleh.
Dalam dimensi yang lebih kuas, tingkatkan pw=engalaman
estetik dan kelebihan akan kesan yang diperoleh juga akan menentukan dikap dan
perilakunya. Pada orang-orang yang mempunyai kepekaan tinggi, umumnya dia akan
lebih cepet untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Karena itu, dapat
disebutkan bahwa pengalaman estetika dapat dipakai sebagai titik tolak
manusiadalam merangkum lingkungannya, baik yang bersifat personal atau komunal.
Dalam hal ini manusia bisa saja mentranformasikan dalam wujud kreativitas atau
bahkan sebuah pencarian baru. Proses ini umumnya yang akan terus mendorong
manusia terus mengeluarkan kemampuannya atau ekspresi jiwanya sehingga apa yang
dihasilkan diharapkan mampu menarik emosi bagi manusia yang menikmatinya.