Kamis, 09 Mei 2013

Estetika Sebagai Manifestasi Budaya


ILMU BUDAYA DASAR
ESTETIKA SEBAGAI MANIFESTASI BUDAYA

Pengantar
            Persoalan estetika atau keindahan kehidupan manusia pada dasarnya adalah suatu yang inheren. Setiapmanusia,secara naluri selalu mencari apa yang dinamakan estetis. Hanya saja, bagai setiap manusia pengalaman estetis tidaklah sama. Bahkan menghadapi objek yang sama pun, penilaian dan pengalaman estesis yang di peroleh berbeda. Semuanya akan bergantung pada kepekaan, keterlibatan emosional, dan situasi yang menyertainya. Meskipun demikian, dalam bentuk dan kondisi yang paling sederhana sekalipun, pada hakikatnya nuansa etestik pasti pernah diperoleh oleh setiap manusia. Dalah hal ini setiap manusian pernah apa yang disebut sebagai keindahan. Karena itu, tidak mengherankan jika manusia sidebut pula dengan homo aetheticus.
            Keindahan yang diperoleh maunsia memang sangat beragam. Keindahan bias diperoleh melalui melalui objek alam, objek artifisial, makhluk hidup, bahkan pada objek-objek yang dipandan gabstrak. Dilihat dari dimensi ini dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya keindahan adalah sejalan dengan kehidupan manusia itu sendiri. Akhirnya, disadari atau tidak persoalan estetika dapatlah di pandang sebagai dari tujuan hudup manusia.
            Dilihat secara historis juga menunjukan bahwa manusia sebagai homo aestheticus juga tidak terbantahkan, meskipun teori tentang esterika sendiri belum dikenal.  Hal ini bias dilihat dari diketemukannya gambar-gambar dan goresan dalam gua-gua peninggalan zaman laleolithic yaitu sekurang-kurangnya pada tahun 20.000 SM.sebagai ilustrasi kaum gravettia (25.000-20.000 SM) diketahui  telah membuat patung-patung dari tanah liat yang kemudian di bakar. Pembuatan patung-patung terssebut pada dasarnya adalah dorongan dari seseorang untuk mengekspresikan perasaan, jiwa, kemampuan (skill), pengalaman, batin, dan harmoni esterika.
            Sejarah dengan perkembangan jaman, ekspresi keindahan memang telah mengakami banyak corak metode,dan bentuk. Ekstetika tidak semata-mata berupa berupa omposisi alam, tetapi bias merupakan sebagai corak bentuk asrtifisial baik yang berhubungan dengan imitasi alam atau hasil dari sebuah imajinasi dan kreativitas tinggi. Esterika tidak hanya didominasi oleh ilmu-ilmu seni, tetapi boleh disebut telah masuk dalam wacana keilmuan secara keseluruhan, apakan teknologi, sisoal budaya, dan agama.

Sebagai ilustrasi, boleh disebutkan bahwa setiap produk yang dihasilkan masusia modern tidak pernah lepas dari konsep estetika. Produk-produk seperti elektonik, manufacture, mobil, motor, furniture, dan property tidak hanya ditonjolkan pada persoalan fungsi dasarnya, yang tak kalah pentingnya adalah sejauh mana estetika bentuk bias diciptakan seiring dengan kemajuan teknologinya. Kenyataannya, bentuk estetik inilah salah satu motivasi terkuat seseorang untuk memiliki objek yang ditawarkan. Dalam hal ini dapat disebutkan bahwa nilai-nilai estetika adalah nilai yang mampu memberikan keterikatan emosional atau merupakan jiwa dari sebuah objek. Dengan kata lain, semakin maju sebuah teknologi atau budaya, semakin tinggi pula tuntutan akan nilai-nilai estetikanya. Ralitas seperti inilah yang harus dipahami seseorang.

Pengertian Estetika
            Meskipun estetika secara naluri ada pada dir setiap manusia, secara teoritis pemunculan estetika berawal dari filsafat Yunani pra-Socrates atau pada masa Thalws. Pada masa itu teori estetikayang dimunculkan hanyabersifat incidental dan belum mendapat satu otonomi sebagai sebuah budang ilmu pengetahuan. Estetika hanya dipandang sebagi sebuah filsafat kehidupan. Perjalanan teori estetika sendiri sebenarnya cukup panjang. Namun demikian, pengungkapan estetik sebagai sebuah bahasan ilmuan pengetahuan mulai diungkapkan oleh Plato. Itupun keberadaan nya masih dilihat dari konteks filsafat. Dalam halini Pluto mengungkapkan bahwa persoalan estetika yang dikaitkan dengan aktivasi manusia pada dasarnya tidaklah dapat disebut sebagai sebuah krativitas seni karena apa yang dilakukan manusia adalah dalah membuat imitasi suatu objek. Dalam hal ini, plato menyrbut  bahwa hasil karya manusia dikaitkan dengan persoalan estetika sangat bergantung ada objek, bukan subjek. Manusia tidak memunculkan suatu krativitas estetikanya, melainkan hanya mencontoh (mimesis). Bagi Plato, estertika sesungguhnya hanya ada pada Tuhan karna hanya Tuhanlah yang merupakan sumber keindahan. Tuhan adalah zat yang maha sempurna dan keindahan hanya ada dalam kesempurnaan.
            Pandangan Plato ini pada masa tertentu memang banyak diikuti oleh filosof yang lain. Homerus, misalnya, menjalin kekuatan ilahi untuk menghindarkan refleksi estetik. Itulah Muse, suatu cinta suci dan lembut mentransfigurasikan manusia dalam alam menjadi bercahaya (lihat Hila Veranza, 1979: 371). Bagi Plato, jika sesuatu itu indah maka kendahan itu adalah suatu yang absolut. Tidak terbantahkan, tidak bisa dianalisis, dan hanya bisa dianikmati. Karena nilai tertinggi kendahan adalah ada pada tuhan, mka esensi keindahan adalah Tuhan. Begitu juga halnya dengan Plotinus, ia mengungkapkan bahwa nilai tertinggi sesuatu adalah kebersamaan dengan Tuhan. Tentu saja apabila kita bersandar pada estimasi bahwa estetikamerupakan pengejawantahan Tuhan, maka supaya pengembangan estetik akan terhenti karena semuanya akan berpulang pada masalah axioma, masalah yang tak terbantahkan.
           
Namun demikian, secara teoritis konsep yang ditawarkan Plato sebenarnya mengandung beberapa konsep. Ada empat hal yang bisa ditarik dari filsafat estetika Plato:
a.      Konsep estetika yang prinsipnya diletakkan pada measure atau ukuran.
b.      Konsep estetika yang diletakan pdad mimetic, tujuan, dan kekurangannya.
c.       Konsep ispirasi puitis ( poeitic inspiration), dan
d.      Konsep erotic madness (kegilaan erotoik) yang berhubungan dengan visi keindahan.

Adanya  kinsep seperti itu, filosof yang lain melihat bahwa tidak mungkin persoalan kreativitas yang berhubungan dengan nilai estetik hanya dikembalikan pada pengejawantahan Tuhan. Menurut mereka peran manusia adalah teori imitasim pun akan sangat berperan. Artinya, untuk menghasilkan nilai-nilai estetika peran dan kreativitas yang ada dalam diri manusia juga sangat menentukan. Alam yang ditiru hanyalah sebagai sebuah onjek global, sedangkan pencuatan nilai estetika pada sebuah karya adalah sebuah kreativitas. Dari sini kemudian muncukl bahwa imitasi justru sering lebih indah daripada aslinya.
Itilah sebabnya dari pihak lain yang di seponsori oleh Aristoteles estetika dikembalikan pada dunia – Idea. Estetika tidak mungkin semata-mata hanya pengejawantahan Tuhan. Karena bagai manapun nisbinya nilai estetika, ternyata dapat di deskripsikan. “beauty is a value, that it is not regarded as the quality of thing”. (Keindahan adalah sebuah kesenagan yang di anggap sebagai kualitas benda). Walaupun estetik dapat diletakan atas suatu benda, namun refleksi manusia dalam mendeskripsikannya jhelas berbeda, karena masing-masing mempunyai asumsi yang berbeda pula. Ghazali, seorang filosof timur terkemuka mengatakan, “ estetika terletak dalam perwujudan suatu kesempurnaan yang dikaitkan dengan perfeksi dan karakteristiknya” (Encyclopedia of the world art, 1974: 5). Yang untuk mewujudkan nilai estetika harus menenuhi patokan-patokan: integrity, proportional, clearity, utuh, serasi dan gemilang (lihat Hila Verenza, 1979: 379).
Namun demikian, refleksi perwujudan nilai estetik dalam suatu karya jelas lebih jauh dari hanya sekedar keseharian, keuruhan, dan kegemilangan. Estetika harus mampu memberikan rasa puas dan senang, karena estetika tidak mungkin lepas dari rasa dan emosi. Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Herbert Read, beauty is a unity of formal relations among our perceptions ( Keindahan adalah suatu kesatuan hubungan formal atas persepsi indera kita).(Herbert Read, 1971: 2). Disini factor “sense” jelas dipakai pula sebagai ukuran atasnilai estetik yang ada dalam suatu karya. Itulah sebabnya, agar tidak terjadi kesalah visi atas nilai estetik suatu karya, Mukarovsky dan Vodicka, tkoh strukturalis Praha megembangkan estetika dari sufut resepsi. The only realty of its perceiver. (Satu-satunya realitas yang diacu oleh tanda estetik adalah realitas persepsi penghayatan) (lihat Teeuw, 1984: 188). Dalam hal ini kemampuan manusia untuk menikmati sebuah keindahan akan menentukan. Yang menjadi ukuran utama, hubungan yang tetap dan langgeng, melainkan merupakan variable, berubah-ubah terus menerus. Penikmat estetika merupan factor hakiki dan menentukan dalam penilaian estetika karya sastra. Hal ini oleh Hans Ribert Jausz kemudian dikembangkan dalam teorinya yang terkenal dengan sebutan estetik resepsi. Dai sanalah kemudian timbul estetik tanggapan dan  efek.
Konsekuensi dari pandangan tersebut, tanggapan nilai estetik akhirnya ditentukan pula oleh cakrawala pandangan penikmat atau penilaian asrtistik sebagian bergantung pada tegangan antara hosrison harapan dengan ciri karya individual (Teeuw, 1984: 196). Penikmat merupakan sentra pencerahan nilai estetik, karena kemampuan manusia seperti dikatakan Petrarka adalah pusat segala sesuatu yang menandakan kemampuan manusia yang kratif, rasional, dan esestik (To Tio Anh, 1984: 37).
Meskipun kriteria esetetik bersifat kreatif, namun unsur pembentuknya pada hakikatnya dapat dikenali. Patokannya adalab sejauh mana unsur-unsur tersebut mampu dirakit dan memancing minat manusia untuk terus mengkajinya. Karena itu, dapat disebut bahwa kriterisa kulaitas objek dari sudut pandang estetik apabila didalamnya terpenuhi:
1.      Keutuhan, keharmonisan dantara unsur-unsurnya
2.      Tegangan dari bangunan konfliks yang memunculkan variable yang terus berubah di kalangan penerima, dan.
3.      Nilai kegunaan yang memunculkan nilai kegemilangan.

Dalam teori estetika, definisi keindahan akhirnya berkembang cukup variatif. Definisi tersebut ada yang dikenal sebagai estetika barat dan estetika timur. Berbedanya pandangan tersebut muncul karena dasar pijakan dalam merumuskan estetika berbeda-beda. Namun secara umum, dapat disebukan bahwa nilai-nilai estetika akan hadir jika suatu objek mempunyai berapa syarat, yaitu:

a.      Esensi, maksudnya nilai keindahan itu muncul karena secara esensial objek tersebut mempunyai kualitas keindahan yang tinggi.
b.      Relasi, maksudnya nilai keindahan tidaklahberdiri sendiri melainkan dibentuk dari berbagi elemen yang mampu mewujudkan satu keutuhan bentuk. Elemen-elemen tersebut memounyai suatu hubungan inter-oranic yang satu sama lain saling menompang dan membentuk satu nilai kendahan yang bersifat utuh.
c.       Sebab-akibatnya, maksudnyha m=nilai keindahan tidak lwpaas dari tanggapan emosi dan ekspresi jiwa.
d.      Efek, maksudnya nilai estetik mampu memberikan kesan yang mendalam

Dapat bisa disebutkan bahwa sesuatu yang disebut indah apabila objek yang diamati, dirasakan, dipahami memenuhi semua kriteria tersebut.

Pengalaman estetika
            Pengalaman estetika bagi manusia adalah sebuah keniscayaan. Keniscayaan yang di maksud karena estetika pada dasarnya adalah sebuah nilai yang realif. Semuanya akan bergantung pada tingkat pemahaman, rasa, dan ekspresi yanf dimiliki. Dalam hal terdapat dua hal yang saling berhubungan yaitu antara objekdan subjek. Objek estetika sendiri tidak selamanya berupa benda objek estetika bisa merupakan situasi dan suasana hati. Hubungan antara objek dan subjek akan ditentukan oleh keduanya.
            Dalam kehidupan sehari-hari, hubungan seperti ini justru akan banyak dijumpai. Seseorang yang saling mencintai, akan melahirkan suatu suasana estetik juka keduanya mampu mengekspresikan jiwanya. Dari sini nuansa estetika akan sangat-sangat ditentukan oleh lupaan emosi secara timbal balik. Dengan kata lain, orang yang saling mencitai akan mempunyaikemampuan merasakan nuansa estetika jika keduanya muncul pemahaman, keserasian, keterlibatan emosi, jiwa dan perasaannya secara total. Pada situasi seperti ini sering kali ide atau kata hati tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata, tetapi akan terpancar melalui ekspresi juwa yang terefleksilewat sentuman, lirikan, pandangan, sentuhan, dan lainnya. Inti dati hubungan tersebut adalah melihat dan merasakan. Inilah realitas hubungan antara objek dalam konteks estetika.
            Namun pengalaman estetika yang palimg banyak dijumpai dalam kehidupan manusia sering didasarkan pada melihat dan merasakan. Dalam hal ini manusia akan mudah untuk menilai objek yang dilihatnya. Secara instinktif dia akan mentranferobjek dalam satu pemahaman dan memadukan antara mengerti dan mau. Dalam hal ini, dalam merespon suatu benda akan muncul pikiran analitik sesuai dengan kriteria estetikyang dipunya objek yang direspon seperti factor harmonisasi, keuthan, hubungan antara elemen pembentuknya. Meskipun demikian, mengerti saja tidaklah cukup untuk menggiring manusia pada suatu pengalaman estetik. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwapengalaman estetik bisa muncul tanppa harus dimengerti. Sebagai contoh,m untuk menghayati atau merasakan suatu lagu dan music sesesorang tidak harus dituntut megerti akan teori music. Dia akan merasakan keindahan suatiu music jika ia mampu merasakan dengan sebuah jiwa akan harmonie semua ritme, komposisi partitur, panduan nada-nada alat music yang digunakan, dan sebagainya. Denang kata lain, untuk suatu pengakaman estetntik kadang-kadang tidak diperlukan suatu teori. Yang terpenting, bahwa pengalaman estetik dalam kehidupan manusia akan muncuk jika  objek yang direspon secara langsung mampu menyatu dan luluh dengan perasaan yang mendalam dan meninggalkan kesan sertea keterikatan emosional. Kodisi seperti ni, memang akan berbeda-beda setiap orang, baik tingkat nilai estetika yang direspon maupun kelebihan akan kesan yang diperoleh.
           

Dalam dimensi yang lebih kuas, tingkatkan pw=engalaman estetik dan kelebihan akan kesan yang diperoleh juga akan menentukan dikap dan perilakunya. Pada orang-orang yang mempunyai kepekaan tinggi, umumnya dia akan lebih cepet untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Karena itu, dapat disebutkan bahwa pengalaman estetika dapat dipakai sebagai titik tolak manusiadalam merangkum lingkungannya, baik yang bersifat personal atau komunal. Dalam hal ini manusia bisa saja mentranformasikan dalam wujud kreativitas atau bahkan sebuah pencarian baru. Proses ini umumnya yang akan terus mendorong manusia terus mengeluarkan kemampuannya atau ekspresi jiwanya sehingga apa yang dihasilkan diharapkan mampu menarik emosi bagi manusia yang menikmatinya.